Upaya Pelestarian Satwa Melalui Konservasi (Taman Safari Indonesia II)
Upaya-upaya untuk melestarikan beraneka ragam satwa liar telah diwujudkan oleh pemerintah dan masyarakat dengan menetapkan bentang-bentang alam tertentu sebagai kawasan-kawasan konservasi. Di Indonesia, upaya pelestarian satwa liar dilakukan secara in situ dan ex situ. Pelestarian in situ merupakan usaha pelestarian yang dilakukan di habitat aslinya. Pelestarian ini ditekankan agar suatu jenis satwa di habitat alinya tetap terjaga dan terpelihara. Pelestarian in situ dilakukan di tempat-tempat yang dilindungi pemerintah. Contohnya, pelestarian Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Sedangkan, pelestarian ex situ dilakukan terhadap suatu spesies di luar habitan aslinya. Pelestarian ex situ dilakukan terhadap hewan langka dan hampir punah. Contoh tempat pelestarian ex situ adalah Taman Safari Indonesia II Prigen, Pasuruan, yang terletak di Jawa Timur Indonesia.
Taman Safari Indonesia II yang merupakan bagian dari Taman Safari Indonesia Group yang terletak di Desa Jatiaro, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur dan memiliki luas lahan 400 ha serta berada di kaki Gunung Arjuno. Keberhasilan Taman Safari Indonesia Group dalam bidang konservasi dan edukasi mengenai satwa, menjadikan Taman Safari Indonesia II Prigen menjadi pusat konservasi di Jawa Timur. Taman Safari Indonesia II dibangun dengan konsep Modern Zoo, dengan satwa-satwa yang dilepas secara bebas seperti di habitat aslinya. Hal ini akan memberikan harapan dan dampak yang positif bagi kelangsungan kehidupan satwa itu sendiri maupun terhadap pengunjung, sehingga mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan cinta puspa dan satwa eksotik beserta lingkungannya.
Hingga saat ini, satwa liar masih menjadi incaran para pemburu gelap, yang mengakibatkan kelangkaan satwa-satwa liar tertentu. Ada beberapa alasan mengapa mereka diburu. Pertama, untuk diperjualbelikan sebagai satwa peliharaan. Semakin langka suatu satwa, semakin mahal pula harganya. Kedua, untuk dikonsumsi daging atau telurnya. Di beberapa daerah Kepulauan Nusantara, menyantap satwa liar merupakan bagian tradisi penduduk setempat. Ketiga, untuk dijadikan hiasan. Hiasan dapat berasal dari tubuh hewan yang diawetkan, atau dari bagian tubuh tertentu seperti gading gajah dan kerapas penyu. Keempat, sebagai bahan baku pembuatan barang-barang seperti tas, sepatu, dan mantel. Kelima, sebagai bahan obat-obatan. Banyak orang percaya bahwa satwa liar memiliki khasiat menyembuhkan penyakit. Beberapa jenis satwa liar yang biasa digunakan sebagai obat adalah ular kobra, kukang, dan badak. Darah, empedu dan sumsum kobra dipercaya dapat menyembuhkan penyakit liver. Daging kukang dipercaya dapat meningkatkan stamina tubuh. Kulit dan cula badak dipergunakan dalam pengobatan tradisional, dan dipercaya mampu mengobati demam, menyusutkan tumor, atau menyembuhkan patah/retak tulang.
Namun sayangnya, masyarakat kurang mengindahkan asas konservasi. Mereka mengambil satwa-satwa liar tersebut dari alam tanpa membudidayakan terlebih dahulu. Bahkan, pengambilan sumberdaya alam itu tidak sebatas kebutuhan pengobatan semata, melainkan sebagai mata pencaharian. Pemanfaatan yang berlebihan menyebabkan turunnya populasi satwa-satwa liar di habitatnya. Beberapa jenis dari satwa-satwa itu pun terancam punah. Kepunahan suatu jenis satwa liar berdampak pada rusaknya ekosistem.
Memelihara satwa liar, selain membutuhkan biaya besar, juga menimbulkan resiko tertular penyakit. Satwa liar merupakan salah satu sumber munculnya penyakit zoonotik. Penyakit zoonotik artinya penyakit yang ditularkan oleh hewan kepada manusia, seperti antraks, leptospirosis, rabies, dan flu burung. Rasa sayang terhadap satwa liar tidak selalu harus diwujudkan dengan memelihara atau memilikinya. Membiarkan satwa itu hidup bebas merupakan tindakan yang paling bijaksana untuk mendukung upaya pelestariannya.