23 October 2014

Mendesain Pendamping Desa yang Kebal Intervensi

http://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/10/23/14140298012955.jpg

Misi Bersama, Mendesain Pendamping Desa yang Kebal Intervensi

Rabiah Adawiyah

Telah kita ketahui bersama bagaimana beratnya tantangan menjadi pendamping desa. Pendamping yang bukan dalam konteks keproyekan, melainkan sebagai community organizer. Meminjam istilah Pak Bito, pendamping desa adalah pendampingan dalam konteks Village Driven Development. Sedangkan pendamping teknis adalah pendampingan dalam ala Community Driven Development.

Menjadi pendamping desa adalah hak semua anak bangsa. Asal punya kompetansi yang dipersyaratkan, tentu bisa berkompetisi. Para pegiat desa, baik yang selama ini bergabung dalam pemberdayaan masyarakat desa melalui program pemerintah seperti PNPM, maupun melalui inisiasi komunitas sebagaimana Komunitas Gerakan Desa Membangun (GDM), adalah contoh entitas yang memiliki pengalaman cukup dalam mendampingi desa.


Jika suatu saat konsep pendamping desa sebagai sebutan dari tenaga pendamping profesional ini menjadi kebijakan yang harus dijalankan pemerintah, maka jangan sampai pendampingan desa itu kehilangan wataknya yang independen, kritis dan transformatif.

Kisah sukses pendampingan di PNPM layak mejadi acuan bagi pengelolaan tenaga pendamping desa. Sukses program lepas dari intervensi aparat birokrasi lokal, adalah karena Fasilitator PNPM tidak dibawah kendali pemerintah kabupaten.

Sayangnya wacana yang berkembang justru membingungkan dan membahayakan independensi kerja-kerja pendampingan desa. Salah satunya adalah bahwa pendampingan masyarakat desa akan menjadi hak otonom dari pemerintah kabupaten. Karena itu, pemerintah kabupaten lah yang akan melakukan rekrutmen dan menggaji pendamping desa.

Memang tidak salah bahwa pemerintah kabupaten punya hak untuk mengadakan pendamping desa, namun pendamping desa milik pemerintah kabupaten ini tidak akan bisa berbuat banyak.

Pendamping desa yang direkrut dan dibiayai dari APBD kabupaten, tidak akan punya daya tahan atas intervensi dari birokrasi kabupaten. Sebagai anak buah dari Bapemas kabupaten, mereka akan mengahadapi dilema tersendiri atas intervensi yang dimungkinkan datang dari birokrasi daerah.

Hubungan kerja antara pendamping desa dengan Bapemas Kabupaten dapat menyandera pendamping untuk menjadi pihak yang netral. Tidak menutup kemungkinan pendampijg justru akan berkomplot dengan oknum-oknum birokrasi untuk mengambil keuntungan pribadi.

Menghadapi benturan kepentingan pribadi itu, Pendamping desa milik kabupaten, tidak akan bisa berbuat banyak dalam mengawal implementasi UU Desa. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari kondisi pendampingan seperti ini.

Pandangan ini tidak dimaksudkan meragukan SKPD Kabupaten, namun Fasilitator PNPM punya banyak cerita bagaimana profesionalitas Bapemas sebagai Satker PNPM Kabupaten. Tidak sedikit Satkerkab PNPM yang ingin menanamkan pengaruhnya guna mengendalikan fasilitator. Tujuannya tentu agar kepentingan birokrasi bisa terfasilitasi dengan baik.

Kasus kriminalisasi Faskab Timor Tengah Selatan, Hregorius Rato, adalah bukti nyata bagaimana parahnya akibat yang ditimbulkan jika oknum bapemas sudah berkonspirasi dengan fasilitator. Bahkan rekan Goris yang datang kemudian untuk meluruskan masalah akibat konspirasi itu, hingga kini justru menjadi korban. Bagaimana jika nanti Bapemas mengendalikan pendamping desa yang bertugas mengawal dana desa yang begitu besar?

Disamping itu, seandainya pemerintah kabupaten benar-benar menjadi pihak satu-satunya yang bertanggungjawab dalam mengadakan pendamping desa, pertanyaannya, apakah mereka mau mengambil tanggungjawab itu? Pengelolaan pendamping desa dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan ini jelas membebani keuangan daerah.

Sebagaimana diatur dalam PP 60 2014, Dana desa dari APBN berapapun besarnya yang masuk ke kabupaten tertentu, tidak bisa dipakai untuk biaya pendampingan. Dana desa 100 persen harus disalurkan ke desa. Berbeda dengan model PNPM, dimana selain alokasi BLM, Satker Kabupaten juga menerima dana pendamping (AP) dari pusat.

Di sisi lain, UU Desa telah memaksa kabupaten mengalokasikan dana desa dari APBD minimal 10 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterimanya. Jika tidak, pasal 72 UU Desa memberi wewenang pada pemerintah untuk menjatuhkan sanksi penundaan dan bahkan pemotongan dana transfer sebesar dana yang tidak dialokasikan ke Desa. Dengan adanya sanksi ini, dipastikan seluruh daerah akan mengalokasikan ADD minimal 10 persen pada 2015 dari APBD. Kondisi ini tuntu akan makin memberatkan keuangan daerah. Sebelumnya tidak ada daerah yang mengalokasikan ADD hingga 10 persen dari DAU meski peraturan sudah mengamanatkan.

Bagi daerah, UU Desa telah menjadi beban tambahan. Dana desa dari APBN tidak menambah ruang fiskal, sedangkan DAU yang menjadi sumber pendapatan utama APBD harus diberikan 10 persen ke desa. Selain itu, kabupaten juga masih menanggung biaya pendampingan desa. Ibaratnya sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Kenyataan itulah yang menjadikan pemerintah daerah tidak pernah berfikir untuk melakukan rekrutmen pandamping desa secara mandiri, meski berwenang. Bahkan pemerintah Provinsi yang APBD nya selamat dari kewajiban UU Desa saja, masih mengandalkan good will dari pusat, sebagaimana Pemprov Jatim.

Dalam salah satu kesempatan, Gubernur Jawa Timur, Sukarwo, juga baru menyampaikan usulan akan pentingnya pendampingan dalam implementasi UU Desa. Setidaknya satu kecamatan harus ada pendamping sebagaimana konsep PNPM. Padahal, pemerintah provinsi juga berhak mengelola pendamping desa.

"Saya usul agar lebih ketat penggunaan anggaran dan itu perlu pendampingan," ujar H Soekarwo saat Sosialisasi UU Desa di Surabaya, Rabu (20/8) malam ( http://www.jatimprov.go.id/site/desa-dapat-bantuan-dana-gubernur-minta-ada-pendampingan/)

Berkaca dari sukses pendampingan di PNPM, pendampingan masyarakat desa tidak bisa begitu saja dipasrahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Bapemas memang tetap menjadi satker yang paling bertanggungjawab dalam pemberdayaan masyarakat desa dan pengelolaan dana desa, karena itu mengefektifkan birokrasi dibawah adalah tugas utama yang harus dijalankan. Camat dan UPT yang ada di bawah harus memerankan fungsi-fungsi pendampingan sesuai dengan bidangnya.

Sedangkan Pemerintah pusat juga tidak bisa tinggal diam mengandalkan pemerintah daerah saja. Pemerintah harus juga mengambil tanggungjawab atas desentralisasi fiskal yang begitu besar ke tingkat desa melalui bantuan pendampingan dengan mendayagunakan tenaga fasilitator profesional. Jangan sampai, kucuran dana desa dari APBN itu menjadi alasan bagi pemerintah pusat untuk melepaskan diri dari tanggungjawab pengawalannya.

Riset Bank Dunia tentang Kajian Kebijakan Publik 2014 menyimpulkan bahwa peningkatan transfer dana ke daerah ternyata tidak serta-merta memperbaiki layanan publik di daerah. Dana desa yang akan digelontorkan mulai 2015 nanti bisa saja mengalami nasib sama, apabila dilepas tanpa adanya pengawalan oleh pihak-pihak yamg independen. Untuk itulah Bank Dunia menyarankan adanya pendampingan.

Bagaimana mendorong pemerintah agar mengambil tanggungjawab pendampingan desa ini? Tuntu dibutuhkan advokasi dari semua pihak, agar kebijakan pemerintah mampu menjawab permasalahan dalam pendampingan desa.

Pendampingan desa adalah amanat undang-undang, tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena itu sudah saatnya, IPPMI dan organisasi-organisasi yang menaungi para pegiat pemberdayaan masyarakat, bergerak bersama menyuarakan pentingnya pendampingan desa yang mendayagunakan tenaga pendamping profesional itu dikelola oleh pemerintah pusat. Pengelolaan pendamping desa oleh pemerintah pusat, sebagaimana konsep PNPM, adalah pilihan yang sudah teruji dengan baik.

No comments:

Post a Comment