03 September 2013

Mengapa PNPM Mandiri Perdesaan Gagal?

Cerita tentang PNPM adalah cerita tentang idealisme, karena bagaimana merubah pola pikir miskin menjadi pola pikir kaya, bukan perkara gampang, bagaimana merubah perilaku miskin menjadi perilaku kaya bukanlah semudah membalik telapak tangan. Bukan hanya soal berapa banyak bantuan financial yang telah dikucurkan, bukan hanya berapa kilometer jalan yang telah dibangun. Disana ada pendekatan budaya pada masyarakat yang menjadi obyek binaan. Untuk membahas masalah pendekatan budaya inilah maka tulisan ini dibuat.


Betapa, kegagalan-kegagalan yang terjadi pada masyarakat, umumnya, bukan karena masyarakat belum siap untuk diajak maju, tetapi karena pendekatan budaya yang dilakukan seringkali, tidak menyentuh kebutuhan dasar dari masyarakat yang dibina. Budaya yang dimaksud disini, jangan diartikan sebagai drama, seni tari atau pertunjukan kesenian, tetapi nilai yang diakui masyarakat setempat dan perilaku yang selama ini akrab dilakukan, sebagai manifestasi akulturasi, antara alam tempat mereka hidup sebagai sebuah proses alami yang panjang.

Pendekatan budaya dimaksudkan, agar pengentasan kemiskinan tidak memarginalkan budaya local yang ada, tidak mencangkokan budaya luar, dengan menapikan budaya yang ada. Sehingga bila hal ini terjadi, maka akan terjadi resistensi pada masyarakat, lalu sikap tidak perduli dan apatis, yang akhirnya menggagalkan program PNPM-MPd itu sendiri. Jika ini terjadi, maka jangan salahkan programnya, tetapi yang salah adalah para pelaku program itu sendiri, bisa jadi fasilitator sebagai ujung tombak di Kecamatan, atau jajaran kabupaten, bahkan hingga korprov sekalipun. Sebagai pucuk pimpinan di Provinsi.

Beberapa contoh dari pendekatan budaya yang memarginalkan dan menafikan budaya local, seperti selalu memberi cap yang baik itu identik dengan Jawa Tengah, kalo ada pekerjaan fisik yang kurang baik, maka kenapa tidak baik, seperti Jawa Tengah, kalo ada angsuran yang tersendat, maka kenapa tidak lancar seperti Jawa Tengah, dan itu selalu diulang-ulang, sehingga bagi pendengarnya timbul kesimpulan bahwa hal itu disebabkan karena pimpinan tertinggi itu, tidak memiliki referensi selain Jawa Tengah, atau pimpinan itu, justru tidak mengenal Jawa Tengah itu sendiri, karena budaya Pekalongan sebagai masyarakat Pesisir sangat berbeda dengan masyarakat Surakarta sebagai milleu menak, dan budaya masyarakat Jepara sangat berbeda dengan masyarakat Cilacap, meskipun sama-sama masyarakat pesisir yang nota bene masih dalam satu provinsi. Apalagi jika dibandingkan dengan masyarakat yang berbeda provinsi, dengan kata lain, memperbandingkan masyarakat dengan budaya yang berbeda dengan satu sama lain bukan tindakan bijak, jika tidak dapat dikatakan bodoh.

Contoh pendekatan budaya yang salah kaprah lain, adalah mendatangi para anggota kelompok yang macet bayar ke rumah mereka tengah malam. Mungkin saja, untuk budaya tertentu tidak masalah, tetapi pada komunitas masyarakat lain, ini merupakan aib yang sangat besar, akibatnya, ada rasa malu yang dilekatkan pada mereka, sehingga mereka tidak respek lagi pada program, yang katanya mengangkat derajat mereka dari miskin menjadi berdaya, tetapi pada kenyataannya, program telah membuat mereka malu pada masyarakat dimana mereka hidup. Akibatnya, meskipun akhirnya tunggakan itu terbayar, tetapi pada saat yang sama, partisipasi itupun sirna.

Contoh lain dari pendekatan yang salah, ketika pimpinan yang mbaurekso mendatangi anak buahnya diwaktu yang salah, tengah malam, dimalam minggu, disaat anak istrinya sudah terlelap tidur. Lalu dengan pongahnya, alih-alih minta maaf dikarenakan kunjungan yang tidak menghargai budaya local itu, malah memutasikan anak buahnya ke tempat yang tidak semestinya, hanya karena tidak mendapatkan pelayanan yang layak ketika bertamu ke rumah anak buahnya.

Dari tiga contoh pendekatan budaya yang tidak benar itu, maka jika PNPM-MPd gagal dalam misinya mengentaskan kemiskinan, jangan salahkan programnya, tapi mari kita tanya, apakah, para pelaku PNPM-MPd itu, sudah mempelajari budaya local tempat mereka ditugaskan? Apakah mereka mengemban tugasnya dengan niat mengentaskan kemiskinan atau hanya karena mereka takut miskin karena tidak mampu cari kerja di tempat lain….????


Sumber:

No comments:

Post a Comment